Perihal Malam dan Ketakutan

kerudung-malam1

Kelap-kelap sunyi tak henti-hentinya berdering di kepalaku, pada jarum jam yang berdetak dari sisi ke sisi masih setia memutar waktu, sekalipun itu tak kau mau, atau juga tentang jarak yang membuat sekat untuk kita saling memeluk buih-buih rindu, yang kau cipta sendiri lewat doa-doamu untukku, selama kau masih ingini hal-hal yang menggenapi perasaanmu.

Semoga kau tabah. Tidak merasa keluh-kesah-lemah. Sayang.

Dalam suatu arti yang tidak tahu memasti, perihal yang disangkalkaan selalu menjadi hal-hal yang mengganjal, di relung pikir yang setiap waktu selalu berdzikir. Aku berlarian menuju suatu celah-kosong yang tak tahu apa itu dinamakan, dimana rinduku dimakamkan. Kemana setiap pikir melaju, rindu selalu ikut memacu. Bagaimana caranya aku tinggal tetap ia selalu menjadi tanggal–yang paling aku mungkin juga kau benci.

Malam masih menjadi musim yang menakutkan, Sayang. Kataku, dimana setiap musim yang ada aku lebih memilih untuk mati daripada menapakkan kaki di musim yang aku benci. Tapi senja sudah memutuskan urat nadinya untuk memberikan nyawanya pada musim ini, tegakah kita untuk mencuri nyawanya? Atau membunuh diri. Setiap jam-menit-detik masih berkesan, hal yang saling berpelukan, meminjamkan bahunya pada kesepian, tapi aku sendiri tak tahu kepada siapa aku harus bersandarkan.

Kulum sunyi dan lumat ia dengan segala kesal yang mendalam, ketakutan yang kurasakan. Hanya beberapa detik yang mencekik, mungkin bisa saja aku mati di saat itu juga. Geram dengan segala suasana yang mencekam. Doa-doaku semoga bisa menyelamatkan sampai aku tak tenggelam.

Kau tahu? Sebaik-baik menenangkan adalah lewat lantunan doa tengah malam. Tidak ada yang dicemaskan kecuali pagi esok yang masih mencadi misteri untuk dibuka usai mimpi-mimpi nanti.

Di mana, Sayang?

Katamu ada tempat paling teduh, untuk menidurkan segala keluh. Sebuah rumah dimana aku ingini ada tiang-tiang yang tabah yang mampu menompang segala peluh yang kesah. Segala keberanian ada dalam bayangan yang kataku itu menakutkan, saat kau menyadari kau sendiri, memakan sisa-sisa sunyi.

Aku ingin tidur, sejenak melepas penat dada yang mendekur, aku bersyukur. Rebah di atas kasur.

Barangkali aku hana perlu malam, ketakutan untuk kau pulang. Merindukan dimana lengan menjadi hal indah untuk merayakan kesepian. Dada menjadi halaman untuk mengingat mengapa kaki harus menginjakkan diri di sini. Seperti api yang mengapa harus ada ketika kau butuh kehangatan tapi kau tak tahu apa yang menjadi alasan.

Kau, pulanglah Sayang. Banyak cerita kita yang ahrus diselesaikan. Sepotong malam dan secuil ketakutan menggenggam kepalaku. Kau tahu.

Biarkan saja, sebentar lagi pagi juga datang, aku harap kau tidak melupa bagaimana cara untuk kembali, menuju lengan yang sedang membentang.

Sayang, perihal malam dan ketakutan, aku buang. Sebentar lagi (aku harap) sebuah cahaya akan menerangkan.

Kepergianmu; Beri Tahu Aku Harus Kemana?

langkah-dalam-kehidupan

Sore menuju senja, tampak lebih sedikit cepat dari biasanya. Seperti ada yang bergegas ingin segera berlalu–pergi dari suatu tempat ke tempat lain. Seolah ada yang ingin disampaikan dari keelokan sinarnya kepada manusia-manusia yang sedang merasa apa, apa jatuh cinta. Burung-burung camar berkeliyaran di orange-jingga saat itu. Mencari-cari dahan-dahan yang tepat untuk me’nyaman’kan tubuh-tubuh lelah mereka. Angin sepoi-sepoi mengetuk daun telinga seolah ingin berbicara kepada kita.

Duduk di bangku sudut kota, di taman yang menghamparkan segala isinya–bunga-bunga yang mulai perlahan menundukkan mahkotanya.Di sana, kita sedang menikmati kemesraan berdua, hanya–saja. Kita tak ingin menatap satu sama lain, percayakah kau itu? Menetapkan sbeuah hati pada suatu pilihan memang tak semudah meletakkan receh pada sembarang tempat–bergeletakan begitu saja. Susah payah mencari suatu wadah yang bisa menampung lalu tiba-tiba wadah itu pecah, apa yang kau rasakan? kecewa kah? marah kah? atau kau ingin segera mencari wadah baru yang lebih bagus, lebih indah tapi kau tak merasa nyaman di dalamnya? Tak bisa begitu saja, Sayang.

Senja mulai kita nikmati, tapi aku tidak tahu apa yang sebenarnya yang sedang kita nikmati. Aku enggan bisa meyakinkan apakah kau juga menikmatinya. Saat tangan masing-masing kita mulai memeluk tangan sendiri dengan mengepal-menggenggam sejuta kata yang belum tersampaikan oleh mulut yang masih bergemetar, mungkin juga kaku. Tubuh-tubuh itu hanya diam, ingin berbahasa tapi tak kuasa. Mata sanggup bicara tapi sayang itu tak bisa menjelaskan dengan terang apa yang sedang kau rahasiakan.

Di seberang taman, sepasang kekasih sedang menjadi tontonan kita, perihal yang hanya aku mimpikan saat itu.

Akhirnya…..

Terungkap juga kata yang bisu tadi, kau bilang, katamu langkah kita sudah tak saling mengerti, kaki-kaki kita hanya seperti air di daun talas yang tak punya arah. Tak bisa menentu mana yang harus dituju. Begitu kan, pelukan-pelukan kita belum sngngup menguatkan arah yang mana yang indah. Kau bilang itu dengan ketukan kaki seolah kau ingin segera pergi.

Sayang, hal-hal yang kau bicarakan itu membuatku kebingungan. Saat sang senja mulai meutup mataya, kamu malah ingin juga menginjakkan langkah menuju katup-katupnya. Lalu bagaimana dengan aku, seorang yang masih belum terlalu fasih dengan hal semacam ini. Sepotong langkah yang hilang dan aku harus berjalan sendiri. Sayang, tolong jangan membiarkan diri begitu saja.

Kepergianmu ini, beri tahu aku harus kemana?